Kisah Nyata dari Jawa Timur Arti Kekayaan yang Hakiki dari Rumah Berdinding Bambu
Rumah kecil berdinding bambu yang bagian bawahnya sudah hancur dan berlantai tanah ini terletak di Dusun Tawing, Desa Sidorejo RT 4 RW 5, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Di dalamnya hanya ada satu amben (tempat tidur) yang terbuat dari kayu. Di ruangan belakang yang digunakan sebagai tempat memasak hanya ada dapur yang terbuat dari tanah liat. Tanpa ada kamar mandi ataupun WC. Yang ada hanya padasan kecil (tempayan yang diberi lubang pancuran) sebagai tempat air wudhu.
Penghuninya adalah seorang lelaki berumur 50 tahun yang bernama Salim atau biasa dipanggil Pak Salim. Ia tinggal seorang diri. Tanpa ada anak dan istri yang menemani. Tidak seperti pola pikir masyarakat zaman modern yang pada umumnya cenderung materialisitis, Pak Salim bisa hidup dengan tenang dan damai meski secara materi kehidupannya sangatlah pas-pasan. Profesi sehari-harinya hanyalah sebagai seorang buruh macul (buruh tani) dengan penghasilan rata-rata tidak lebih dari Rp.500 ribu per bulan. Akan tetapi, Pak Salim bisa menikmati hidupnya, bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya.
Bahkan, yang membuat kita terhenyak adalah ketika sebuah komunitas sosial Solidaritas Wajah Pribumi (WAPRI) yang berkantor pusat di Blitar bermaksud memberikan bantuan baik berupa uang ataupun paket sembako sekitar seminggu yang lalu, Pak Salim dengan halus menolaknya. Jawaban yang ia berikan sungguh bijak dan sangat menyentuh hati. "Pada saat kami mendapat satu amanah uang tunai sebesar Rp.1.000.000 (satu juta Rupiah) dari sahabat WAPRI untuk disampaikan kepada Pak salim, beliau menolaknya. Saat itu pada awalnya saya hanya menunjukkan amplopnya, tak menunjukkan nilai nominalnya.
Kemudian amplop itu saya buka dan saya hitung di depan beliau. Beliau tahu uang itu sebesar satu juta, namun beliau tetap menolak. Setelah agak saya paksa akhirnya alhamdulillah diterima. Namun, satu hal yang membuat saya terperanjat ketika beliau menggenggam tangan saya dan menaruh kembali amplop beserta uang itu sambil berkata : 'Uang ini saya terima, tapi tolong sampaikan kepada yang lebih berhak lagi.
Masih banyak di luar sana yang lebih membutuhkan daripada saya'," kata Ahmad Arif Affandi, salah satu aktivis sosial dari WAPRI ketika menceritakan kunjungannya ke rumah Pak Salim kepada penulis. Aktivis sosial WAPRI sudah tiga kali mengunjungi rumah Pak Salim untuk bersilaturahim. Pada kunjungan yang ketiga, Minggu (15/5/2016) yang lalu, Ahmad Arif Affandi dkk membawa paket sembako dan bermaksud memberikannya kepada Pak Salim, namun lagi-lagi, Pak Salim menolaknya.
Kejadian tersebut membuktikan bahwa jiwa seorang Pak Salim adalah jiwa yang sangat mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada dirinya. Ia begitu menjaga harga dirinya, serta mampu menjalani hari-harinya dengan sabar. Ikhlas atas ketentuan Illahi Robby. Padahal, di zaman sekarang banyak orang yang entah sadar atau tidak, sengaja me-miskin-kan dirinya demi sebuah nafsu dan ambisi. Hilang malu dan nurani.
Sukanya menerima tetapi enggan memberi! Ya, di rumah kecil berdinding bambu dan berlantaikan tanah tersebut hidup seorang Pak Salim yang 'kaya'. Dengan mempertebal iman dan tak banyak keinginan, Pak Salim mampu hidup dengan damai dan nyaman dalam kesederhanaan. Bahkan, nuraninya mampu melihat bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya jauh lebih memprihatinkan dari dirinya.
Tulisan ini tidak ada maksud dan tujuan apa-apa selain sebagai sebuah perenungan bahwa ketenteraman hidup tidak semata-mata ditentukan oleh harta dan tahta. Tulisan ini juga ungkapan sebuah fakta betapa sangat kontras dan begitu lebarnya gap kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya di negeri tercinta Indonesia.
Kehidupan Pak Salim yang lugu, polos dan sederhana bertolak belakang dengan moral (sebagian) oknum penguasa yang masih sering bermain-main dengan uang haram yang taruhannya tidak sekedar rompi oranye KPK tetapi juga harga diri di mata masyarakat serta pertanggung jawaban perbuatannya kelak di hadapan Tuhan meski sebenarnya mereka sudah kaya dan berlimpah harta.
Ya, di rumah kecil berdinding bambu dan berlantaikan tanah tersebut hidup seorang Pak Salim yang 'kaya'. Menolak pemberian bukan karena kesombongan tetapi merasa cukup dan bersyukur. Nuraninya mampu melihat bahwa di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang lebih memerlukan uluran tangan.
Pak Salim //foto: dokumen WAPR
Rumah kecil berdinding bambu yang bagian bawahnya sudah hancur dan berlantai tanah ini terletak di Dusun Tawing, Desa Sidorejo RT 4 RW 5, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Di dalamnya hanya ada satu amben (tempat tidur) yang terbuat dari kayu. Di ruangan belakang yang digunakan sebagai tempat memasak hanya ada dapur yang terbuat dari tanah liat. Tanpa ada kamar mandi ataupun WC. Yang ada hanya padasan kecil (tempayan yang diberi lubang pancuran) sebagai tempat air wudhu.
Penghuninya adalah seorang lelaki berumur 50 tahun yang bernama Salim atau biasa dipanggil Pak Salim. Ia tinggal seorang diri. Tanpa ada anak dan istri yang menemani. Tidak seperti pola pikir masyarakat zaman modern yang pada umumnya cenderung materialisitis, Pak Salim bisa hidup dengan tenang dan damai meski secara materi kehidupannya sangatlah pas-pasan. Profesi sehari-harinya hanyalah sebagai seorang buruh macul (buruh tani) dengan penghasilan rata-rata tidak lebih dari Rp.500 ribu per bulan. Akan tetapi, Pak Salim bisa menikmati hidupnya, bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya.
Rumah Pak Salim //foto: dokumen WAPR
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6d
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6d
Rumah Pak Salim //foto: dokumen WAPR
Bahkan, yang membuat kita terhenyak adalah ketika sebuah komunitas sosial Solidaritas Wajah Pribumi (WAPRI) yang berkantor pusat di Blitar bermaksud memberikan bantuan baik berupa uang ataupun paket sembako sekitar seminggu yang lalu, Pak Salim dengan halus menolaknya. Jawaban yang ia berikan sungguh bijak dan sangat menyentuh hati. "Pada saat kami mendapat satu amanah uang tunai sebesar Rp.1.000.000 (satu juta Rupiah) dari sahabat WAPRI untuk disampaikan kepada Pak salim, beliau menolaknya. Saat itu pada awalnya saya hanya menunjukkan amplopnya, tak menunjukkan nilai nominalnya.
Kemudian amplop itu saya buka dan saya hitung di depan beliau. Beliau tahu uang itu sebesar satu juta, namun beliau tetap menolak. Setelah agak saya paksa akhirnya alhamdulillah diterima. Namun, satu hal yang membuat saya terperanjat ketika beliau menggenggam tangan saya dan menaruh kembali amplop beserta uang itu sambil berkata : 'Uang ini saya terima, tapi tolong sampaikan kepada yang lebih berhak lagi.
Masih banyak di luar sana yang lebih membutuhkan daripada saya'," kata Ahmad Arif Affandi, salah satu aktivis sosial dari WAPRI ketika menceritakan kunjungannya ke rumah Pak Salim kepada penulis. Aktivis sosial WAPRI sudah tiga kali mengunjungi rumah Pak Salim untuk bersilaturahim. Pada kunjungan yang ketiga, Minggu (15/5/2016) yang lalu, Ahmad Arif Affandi dkk membawa paket sembako dan bermaksud memberikannya kepada Pak Salim, namun lagi-lagi, Pak Salim menolaknya.
Kejadian tersebut membuktikan bahwa jiwa seorang Pak Salim adalah jiwa yang sangat mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada dirinya. Ia begitu menjaga harga dirinya, serta mampu menjalani hari-harinya dengan sabar. Ikhlas atas ketentuan Illahi Robby. Padahal, di zaman sekarang banyak orang yang entah sadar atau tidak, sengaja me-miskin-kan dirinya demi sebuah nafsu dan ambisi. Hilang malu dan nurani.
Sukanya menerima tetapi enggan memberi! Ya, di rumah kecil berdinding bambu dan berlantaikan tanah tersebut hidup seorang Pak Salim yang 'kaya'. Dengan mempertebal iman dan tak banyak keinginan, Pak Salim mampu hidup dengan damai dan nyaman dalam kesederhanaan. Bahkan, nuraninya mampu melihat bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya jauh lebih memprihatinkan dari dirinya.
Tulisan ini tidak ada maksud dan tujuan apa-apa selain sebagai sebuah perenungan bahwa ketenteraman hidup tidak semata-mata ditentukan oleh harta dan tahta. Tulisan ini juga ungkapan sebuah fakta betapa sangat kontras dan begitu lebarnya gap kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya di negeri tercinta Indonesia.
Kehidupan Pak Salim yang lugu, polos dan sederhana bertolak belakang dengan moral (sebagian) oknum penguasa yang masih sering bermain-main dengan uang haram yang taruhannya tidak sekedar rompi oranye KPK tetapi juga harga diri di mata masyarakat serta pertanggung jawaban perbuatannya kelak di hadapan Tuhan meski sebenarnya mereka sudah kaya dan berlimpah harta.
Ya, di rumah kecil berdinding bambu dan berlantaikan tanah tersebut hidup seorang Pak Salim yang 'kaya'. Menolak pemberian bukan karena kesombongan tetapi merasa cukup dan bersyukur. Nuraninya mampu melihat bahwa di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang lebih memerlukan uluran tangan.
Figo Kurniawan
/figo
Lahir di Malang 21 Juni..
sejak 1997 menjadi warga Kediri,
sejak 2006 menjadi TKI di Malaysia.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6d
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6d
Figo Kurniawan
/figo
Lahir di Malang 21 Juni..
sejak 1997 menjadi warga Kediri,
sejak 2006 menjadi TKI di Malaysia.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6d
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6dSelengkapnya : http://www.kompasiana.com/figo/inilah-rumah-orang-kaya-itu_574061b908b0bdda08bf0a6d