Presiden Jokowi Memerintahkan Menko Polhukam Mencari Kuburan Massal Korban Tragedi 65
Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan mencari kebenaran perihal kuburan massal korban tragedi 65. Presiden ingin mengetahui kepastian ada tidaknya ratusan ribu orang yang merenggang nyawa pada tragedi tersebut. Pemerintah tak pernah menemukan adanya kuburan massal orang-orang yang dicap simpatisan dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menko Polhukam, mengatakan, "Presiden tadi memberitahu bahwa memang disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya itu. Jadi selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa sekian ratus ribu yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita menemukan satu kuburan massal,".
Bahkan Menko Polhukam, menantang LSM maupun pengamat yang mengklaim mengetahui adanya kuburan massal, untuk memberitahu kepada pemerintah. Luhut berjanji akan langsung mendatangi lokasi kuburan massal yang dimaksud.
Sebenarnya kuburan massal korban tragedi 65 bukan hanya isapan jempol saja. Beberapa bukti sejarah mengarah adanya pemakaman massal simpatisan PKI yang dibunuh setelah tragedi G30S. Tapi kepastian total dari jumlah korban 65, masih simpang siur tidak ada kepastian jumlah korban tragedi 65.
Berbagai versi tentang jumlah korban tragedi 65, saling berbeda jauh.
Beberapa fakta kuburan massal yang pernah tergali.
Kuburan massal di Semarang
Setahun sebelum ditemukannya kuburan massal di Jembrana, Bali, heboh penemuan kuburan simpatisan PKI juga terjadi di Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Mangkang, Kota Semarang, Jawa Tengah. Tepatnya November 2014. Salah satu korban peristiwa tragedi 65 di Kota Semarang yang sampai saat ini masih berada di kuburan massal diduga Soesetyo, bupati Kendal yang menjabat pada masa itu.
Fakta itu diungkapkan oleh pegiat budaya dan penyair yang berasal dari Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kelana Siwi. Fakta tersebut diperolehanya saat beberapa waktu lalu dirinya bertemu dengan salah seorang saksi mata kejadian pembantaian masal tragedi 65' di Kota Semarang, Mukrom (74), warga Desa Pidodo, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.
Mukrom merupakan salah satu korban Peristiwa Tragedi 65 yang ditawan di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang dulunya adalah Ketua Commitee Resort Partai Komunis Indonesia (PKI) Desa Pidodo, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.
Berdasarkan keterangan Mukrom ini, identitas korban lainnya selain Soesatyo yang baru diketahui adalah Mutiah (warga Patebon guru TK Melati Kendal, anggota Gerwani), Sakroni (ketua Commitee Subseksi PKI Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal). Ada pula nama Darsono (warga Margorejo Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, dulunya merupakan anggota Pemuda Rakyat), dan Dulkamid (warga Kelurahan Pidodo Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal, dulu merupakan Ketua Commitee Subseksi PKI Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal).
Jumlah korban, menurut Mukrom ada 21 orang. Keterangan jumlah ini berbeda dengan versi warga Wonosari yang menyebut ada 24 orang, versi warga lainnya ada yang menyebut ada 12 orang.
"Korban dibawa ke Wonosari sore hari dengan truk. Hanya menurut warga Wonosari kedatangan korban ke Wonosari ini adalah pada saat malam hari. Jadi sebelum sampai di Wonosari sempat dibawa ke mana belum diketahui," ujarnya.
Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) telah melaporkan temuan situs kuburan massal korban Tragedi 1965/1966 ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Beberapa waktu lalu kami berkirim surat ke Komnas HAM untuk berkonsultasi apakah terhadap jenazah-jenazah yang menurut warga berjumlah 24 korban dalam dua lubang makam dapat dikuburkan kembali secara layak," ujar konvokator PMS-HAM, Yunantyo Adi kepada merdeka.com, Senin (17/11/2014).
Yunantyo bersama dua mahasiswa S2 Program Magister Ilmu Hukum Undip, Rian Adhivira dan Unu P Herlambang mengaku telah ke lokasi situs kuburan massal tersebut beberapa kali dan melakukan wawancara dengan warga. Termasuk sejumlah warga yang dulu menguruk dua lubang waktu selepas eksekusi pada tahun 1966.
"Penguburan secara layak itu ya didoakan dan disalati oleh pemuka-pemuka agama, ya Islam, Kristen, dan lainnya. Mereka dulu kan juga ada yang Islam, dan mungkin beragama lain, saat dieksekusi barangkali belum disalati," jelasnya.
Penguburan kembali itu, lanjut Iyas, selain dalam rangka kemanusiaan, merupakan simbol memaafkan saling luka-luka bangsa.
"Apa yang dipelopori Gus Dur, kemudian rekonsiliasi antara putra-putri Pak Harto, Jenderal A Yani, Jenderal Nasution, dan DN Aidit, terkait Tragedi 1965-1966 itu patut apresiasi dan dilanjutkan," ungkapnya.
Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang Rukardi Achmadi mengatakan, mereka yang dikuburkan di sana merupakan korban politik negeri di era peralihan kekuasaan. "Hanya karena euforia politik, dan Partai Komunis Indonesia menjadi tertuduhnya, mereka yang dituduh PKI tersebut dibunuh, dihilangkan, ditawan, diperkosa, diperbudak, dan sebagainya," tuturnya.
Kuburan massal di Jembrana, Bali
Pada Oktober 2015 dilakukan pembongkaran kuburan massal diduga eks anggota PKI di Jalan Banjar Masean, Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali. Pembongkaran dimulai sejak pagi sekira pukul 09.00 WIB, dengan pengawalan anggota Polres Jembrana dan aparat TNI serta Pecalang setempat.
Pembongkaran diawali dengan prosesi upacara khusus secara Hindu. Prosesi tersebut diikuti oleh ratusan krama (warga) adat setempat serta beberapa keluarga jenazah dan disaksikan Ketua DPRD Jembrana, I Ketut Sugiasa serta sejumlah saksi.
Hasilnya ada sembilan kuburan yang diduga eks anggota PKI yang bakal dibongkar dan telah diberi tanda oleh panitia. Dari sembilan kuburan yang akan dibongkar, tujuh orang merupakan warga lokal, satu orang warga asal Pandak, Tabanan dan satu orang lagi asal Kelurahan Lelateng, Kecanatan Negara, Jembrana. Kuburan tersebut terletak di pinggir Jalan Mesean dekat SDN 3 Batuagung.
Dari sembilan kuburan yang akan dibongkar, ada tiga kuburan yang berhasil ditemukan dan hanya tinggal tulang belulang, yaitu tulang lengan dan pecahan tulang tengkorak. Tulang belulang yang ditemukan di kedalaman 1,5 meter dari permukaan tanah tersebut diambil pihak keluarga masing-masing untuk dikumpulkan di dalam dulang, beralaskan kain putih.
Ditemukannya lokasi kuburan yang diduga eks anggota PKI ini tidak lepas dari penuturan Kakiang (Kakek) Kerende (96), salah seorang warga Mesean yang merupakan saksi peristwa.
"Mereka itu dikubur di bulan awal-awal tahun 1966. Setelah kejadian G30S PKI di Jawa," terangnya dalam bahasa Bali.
Menurutnya, setelah kasus G30S PKI di Jawa pecah dan para anggota PKI berhasil ditumpas, para anggota PKI di Jembrana semuanya menyerah.
"Termasuk yang di Mesean ini. Para anggota PKI yang memang warga sini tidak ada yang berani melawan. Semuanya menyerah," tuturnya.
Setelah itu di Banjar Mesean menurut Kakiang Kerende, para anggota PKI semuanya ditangkap dan dikumpulkan. Tidak ada perlawanan, mereka hanya pasrah.
"Mereka lantas digiring ke tempat ini (tempat kuburan massal). Kemudian mereka dibariskan dan dibunuh secara bersamaan. Saya sendiri melihatnya sambil mengintip di balik semak-semak bersama beberapa pemuda kala itu," ujarnya.
Yang dari Tabanan itu memang tinggal di sini beberapa hari sebelum dibantai. Dia kabur dari Tabanan ke sini karena takut ditangkap. Begitu pula yang dari Leteng," imbuhnya, seraya meyakinkan hanya jumlah tersebut yang dilihatnya. Untuk korban yang lainnya, dirinya tidak tahu. Lebih lanjut Kerende mengatakan korban eks PKI dieksekusi warga dengan menggunakan pedang. Tidak satu pun ada yang menggunakan senapan atau bedil.
"Mereka memang anggota PKI, tapi setahu saya mereka tidak melakukan pemberontakan. Saat itu memang ada perintah untuk menangkap dan menumpas anggota PKI, seperti daerah-daerah lainnya," kata kakek berjenggot putih ini.
Setelah ditelusuri, ternyata penggalian kuburan eks korban PKI di wilayah Batu Agung, Jembrana di Bali pernah dilakukan. Pada tahun 1984 saat dilakukan penyisiran, di tempat ini terdapat 11 jasad yang berhasil diangkat dan dipindahkan ke kuburan oleh pihak keluarga.
Sayangnya saat itu tidak dilanjutkan penggalian atau pencarian. Hingga berjalan puluhan tahun, pihak tokoh masyarakat mendatangi orang pintar terkait seringnya ada kejdian aneh di desanya. Dari hasil datang ke orang pintar, terlihat masih ada banyak lagi korban eks PKI yang dikubur secara massal di jalan.